Peringatan Haul KH. MA. Sahal Mahfudl

Haul kedua ulama asal Pati, KH. Sahal Mahfudz (Mantan Rais Aam NU) berlangsung di komplek pesantren Maslakhul Huda Kajen. Acara yang diselenggarakan di awal tahun 2016 ini berlangsung dengan khidmat..

Pasar Takjil Ramadhan kajen

Menjelang waku berbuka puasa, Jl. Kh. A. Mutamakkin mulai ramai dipadati pedaganng kaki lima yang menjual makanan dan minuman untuk berbuka puasa. pada umumnya dipadati oleh para santri putra dan putri yang mondok didesa kajen tak ketinggalan pula warga desa sekitar yang sengaja untuk membeli makanan untuk berbuka puasa. .

Pelatkan Batu Oleh KH. Nafi' Abdillah

Lapangan Yasin Desa Kajen yang semula menjadi tempat bermain dan tumbuhnya rumput hijau kini akan tergantikan dengan bangunan gedung sekolah / madrasah dengan bangunan lima lantai, yakni Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) atau sering dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan “matholek”..

Haul KH Abdullah Salam

Haul KH. KH. Abdullah Zen Salam Kajen yang ke 14, bertempat dikediaman beliau di Komplek Pondok Pesantren Matholiul Huda, dihadiri ratusan warga dalam maupun luar daerah. Acara yang diisi dengan pengajian dan tahlil bersama ini dipimpin Habib Muhammad Al Aidit dari Tayu.

Biografi KH Abdullah Salam

KH Abdullah Zen Salam adalah keturunan ke tujuh dari pihak ayah sampai kepada Syaikh Mutamakkin. Silsilahnya adalah KH.Abdullah Zen Salam bin KH Abdussalam bin KH Abdullah bin Nyai Muntirah binti KH Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti KH.Muhammad Hendro bin kH Ahmad Mutammakin. Yang jika ditarik garis keturunan menunjukkan beliau, Syaikh Abdullah Zen Salam masih mempunyai garis darah sampai pada Nabiyullah Muhammad SAW yang tepatnya ketururan ke 35.4.

Labels

Followers

Translate

Wednesday, July 13, 2016

Mengupas Masjid Jami' Kajen, dalam Acara The Journey of a Backpacker Trans7


The Journey of a Backpacker Trans 7 eps. 6, menymbangi ke Masjid Jami' kajen, dalam lawatannya selama bulan Ramadhan  di Kabupaten Pati, kali ini Mengupas seputar salah satu masjid tertua di Pati Utara "Masjid Jami' Kajen"
Program yang bertajuk The Journey of a Backpacker ini bakal menyajikan acara jalan-jalan ala backpaker muslim yang dipandu oleh penyanyi muslim berdarah Amerika-Mesir, Raef Haggag dan temannya Muhammad Asaad, seorang enterpreneur sekaligus penulis buku best seller Notes from Qatar. Mereka akan menelusuri sumber inspirasi Islam di Indonesia, menemui tokoh-tokoh Islam di berbagai daerah, dan mengunjungi tempat-tempat sulit terjangkau namun kental dengan nilai-nilai kemanusiaan.

berikut, video tentang The Journey of a Backpacker  eps. 6 di masjid jami' kajen


< >

Tuesday, July 12, 2016

Mbah Hasyim Mengantar Santrinya ke Kajen

Mbah Hasyim Mengantar Santrinya ke Kajen

Siapa sih yang tak kenal Hadratussyaikh Mbah Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur, pendiri NU, dan "sumber" ilmu dari sejumlah kiai besar di Jawa itu? 

Sudah pasti ada banyak kisah tentang kiai besar ini. Sebagian besar kisah tentang beliau sudah pasti pernah dituturkan, baik oleh para muridnya atau oleh orang-orang lain yang pernah mengenal sosok ini. 

Tetapi akan selalu ada "little narrative", kisah-kisah kecil tentang Mbah Hasyim yang masih tersembunyi di balik memori para muridnya dan belum diketahui oleh banyak orang.

"Little narrative" tentang Mbah Hasyim itu saya jumpai saat lebaran tahun ini, saat saya "sowan" ke rumah Kiai Muadz Tohir, guru yang mengajari saya bahasa Inggris di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, dulu.

Kiai Muadz adalah putera Kiai Thohir bin Nawawi, Kajen. Saat saya berkunjung ke rumahnya Lebaran tahun ini, Kiai Muadz menuturkan sebuah "little narrative" tentang Mbah Hasyim yang saya yakin belum banyak diketahui oleh orang. Kisah yang sangat menarik.

Beginilah kisahnya.

Kiai Thohir, ayahanda dari Kiai Muadz, dulu pernah nyantri di Tebuireng, di bawah asuhan Mbah Hasyim. Dengan kata lain, Kiai Thohir adalah santrinya Mbah Hasyim.

Beberapa tahun nyantri, Thohir muda belum banyak mengalami perkembangan. Dia tak terlalu pintar menyerap pelajaran dari Mbah Hasyim. Istilah pesantrennya, "dhèdhèl" (not so smart).

Suatu hari, Mbah Hasyim ada hajat untuk menghadiri undangan dari Kiai Romli di Peterongan, Jombang. Lalu, Mbah Hasyim memanggil santri yang tak terlalu pintar bernama Thohir itu. Mbah Hasyim memintanya untuk menggantikan beliau mengajar kitab Bulughul Maram (kitab kumpulan hadis yang sangat populer di seluruh dunia Islam).

Tentu saja Thohir muda kaget bukan main dan sekaligus panik. Dia merasa sebagai santri yang bodoh. Dia bahkan merasa belum mampu baca kitab berbahasa Arab. Tetapi dia, tentu saja, tak mungkin menolak perintah guru.

Akhirnya, dengan keringat dingin yang bercucuran, Thohir muda memaksa diri mengajar kitab Bulughul Maram. Yang membuat Thohir muda kaget, ternyata Mbah Hasyim tidak "tindakan" (pergi) mendatangi undangan, malah ikut menunggui dia mengajar.

Di luar dugaan, Thohir muda, dengan ditunggui Mbah Hasyim, mampu mengajarkan kitab itu dengan lancar. Tentu dia sendiri kaget. Setelah itu, Mbah Hasyim meminta santri Thohir untuk mengajarkan kitab Bulighul Maram.

Kocap kacarita, singkat cerita, Thohir muda menjadi salah satu murid kesayangan Mbah Hasyim.

Saat boyongan ke Kajen, Mbah Hasyim ikut mengantar Kiai Thohir sampai ke rumahnya. Mbah Hasyim, saat itu, ingin "iras-irus" (sekalian) bertemu dengan Mbah Salam, kakak dari Mbah Nawawi. Mbah Nawawi adalah ayahanda Kiai Thohir. Sementara Mbah Salam adalah ayahanda dari Mbah Abdullah Salam, kiai yang sangat dihormati dan dikenal sebagai wali di Jawa Tengah.

Mbah Hasyim tidak sekedar mengantar Kiai Thohir sampai ke rumahnya di Kajen. Tetapi juga memberikan "suvenir" atau kenang-kenangan berupa tiga kitab hadis besar-besar.

Tiga kitab itu ialah Sahih Bukhari, Syarah Qasthallani (salah satu komentar [syarah] yang terkenal atas Sahih Bukhari) dan Muwatta' (kumpulan hadis karya Imam Malik, pendiri mazhab Maliki).

Ketiga kitab ini dihadiahkan oleh Mbah Hasyim kepada santrinya yang baru boyongan itu sebagai semacam apresiasi intelektual atas kemampuan Thohir muda.

Mbah Hasyim tidak sekedar menghadiahkan tiga kitab itu, tetapi juga membubuhkan autograf atau tanda tangan disertai sebuah ucapan.

Mendengar kisah Kia Muadz ini, saya langsung menyergah, "Boleh saya melihat tiga kitab itu, Pak Muadz? Saya ingin sekali melihat tulisan tangan dan tanda tangan Mbah Hasyim."

Sayang sekali kitab itu tidak disimpan di rumah Kiai Muadz. Melainkan di rumah kakaknya, alm. Kiai Muzammil.

Dalam hati saya berkata: Suatu saat saya pasti akan mendatangi putera Kiai Muzammil dan melihat sendiri "suvenir" yang dihadiahkan oleh Mbah Hasyim itu.

Ada kisah lain yang dituturkan oleh Kiai Muadz tentang kunjungan Mbah Hasyim ke Kajen itu.

Seperti saya tuturkan sebelumnya, selain ingin mengantar santrinya boyongan ke dusunnya, Mbah Hasyim "karonto-ronto" (bersusah-payah) datang ke Kajen juga untuk bertemu dengan Mbah Salam, paman dari Kiai Thohir.

Usai sowan ke Mbah Salam, dalam perjalanan pulang ke rumah Kiai Thohir, Mbah Hasyim menangis "sesenggukan". Mbah Nawawi, ayahanda Kiai Thohir, yang menemani Mbah Hasyim sowan ke "ndalem" (rumah) Mbah Salam, bertanya:

"Kenapa njenengan menangis, Yai?"

Jawab Mbah Hasyim: Ada satu hal yang tak pernah berhasil saya lakukan tetapi dikerjakan oleh Mbah Salam. Aku iri.

"Apa itu, Yai?" tanya Mbah Nawawi.

"Mbah Salam masih sempat mengajar anak-anak kecil. Padahal beliau itu kiai besar. Sementara saya yang ilmunya tak seperti Mbah Salam tak sempat mengajar anak-anak."

Saat sowan ke rumah Mbah Salam, Mbah Hasyim memang melihat beliau mengajar anak-anak kecil. "Mu'allim al-sibyan," mengutip kata-kata Kiai Muadz.

Saat mengisahkan kisah ini kepada saya, Kiai Muadz menambahkan komentar kecil yang sarat sindiran dan secara ironis bernada "self-mocking". Kata Kiai Muadz, "Sementara kita-kita ini sekarang gengsi jika ngajar anak-anak."

Mendengar komentar itu, saya tertawa getir. Dalam hati saya berbisik, "Sekarang ini kita memang cenderung jaim!"

Di ujung kisah itu, saya berteriak kepada Kiai Muadz:

"JADI, KIAI MUADZ, MBAH HASYIM PERNAH MENJEJAKKAN KAKINYA DI RUMAH YANG NJENENGAN TINGGALI INI?"

"Ya," jawab Kiai Muadz lirih.

Saya langsung menengok ke belakang, dan melihat foto Kiai Thohir tergantung di kamar tamu Kiai Muadz. Dengan bergegas saya langsung minta izin pada Kiai Muadz untuk mengabadikannya di hp saya.

Jepret. Jepret. Jepret.

"Ini," kata Kiai Muadz, "adalah foto yang diambil saat ayah saya menjadi pegawai KUA. Tapi ayah saya tak tahan jadi pegawai. Beliau cuma bertahan selama tiga bulan saja."

Memang "trah" Kiai Thohir adalah trah kiai. Tak cocok menjadi pegawai negeri.

Mari kita hadiahkan Fatehah untuk Mbah Hasyim, Mbah Salam, Mbah Nawawi, Kiai Thohir dan Mbah Dullah Salam.

Al-Fatehah...

Inilah foto Kiai Thohir yang tergantung di tembok kamar tamu Kiai Muadz itu.


sumber :  Ulil Abshar Abdalla