Labels

Followers

Translate

Wednesday, July 7, 2010

maslakul huda kajen

PMH PUTRA



Presantasi karya tulis Inggris

Secara historis tidak diketahui pasti kapan tanggal berdirinya pesantren Maslakul Huda, namun dapat dipastikan rintisan aktifitas cikal bakal keberadaan Maslakul Huda sudah berlangsung sekitar tahun 1910an. Pada waktu itu, mbah Mahfudh ( ayah Kiai Sahal Mahfudh) telah menginjak dewasa, beliau ingin mempunyai pesantren sendiri. Mbah Mahfudh setelah menimba ilmu dari mekah sempat tabarukan sebentar kepada kiai Hasyim Asy’ari, ketika beliau ngangsu kaweruh di tebuireng saat itu sudah diberikan kesempatan mengajar oleh mbah Hasyim Asy’ari, sehingga ketika mbah mahfudh minta diri pulang untuk merintis pesantren di kajen, beberapa santri yang dulu menjadi muridnya di tebuireng ikut beliau, yang akhirnya menjadi santri pertama di Maslakul Huda.

Pada awalnya pesantren ini belum bernama Maslakul Huda tetapi Polgarut singkatan dari nama daerah dimana pesantren ini berada yaitu, Gempol garut. Baru ketika pesantren dipegang oleh kiai Sahal Mahfudh sekitar tahun 1963 dinamakan Maslakul Huda ( jalannya pituduh ) dengan maksud sebagai tahap lanjutan dari Mathali’ul Huda ( sumbernya pituduh) pesantren yang didirikan ayah mbah Mahfudh ( Mbah Abdussalam ) yang diasuh oleh Mbah Abdullah Salam (almarhum) putra Mbah Abdussalam dan sekarang diasuh oleh kiai Nafi’ Abdillah (putra Mbah Abdullah Salam)

Pesantren Maslakul Huda berdiri diatas tanah seluas 5000m. Dalam perjalan sejarahnya, pesantren ini telah mengalami pergantian pengasuh tiga kali. Tahap perintisan dipegang oleh Kiai Mahfudh Salam yang selanjutnya ketika beliau wafat pengasuh dipegang oleh adik beliau K.H Ali Mukhtar bin Abdussalam. Selanjutnya setelah putra kiai Mahfudh yang bernama KH.MA Sahal Mahfudh pulang dari pengembaraan mencari ilmu, pesantren diasuh oleh beliau sampai sekarang.

Secara geografis, letak pesantren Maslakul Huda berada di wilayah desa Kajen paling barat, keberadaannya berbatasan langsung dengan Desa Ngemplak, tepatnya di arah barat Makam Syech Ahmad Mutamakkin dan sebelah timur jalan Pati Tayu km 15, Bangunan pesantren Maslakul Huda terdiri dari 20 lokal kamar santri, kantor pengurus 1 lokal, Mushola, perpustakaan, Aula 2 lokal besar dan kecil, ruang tamu 3 lokal, Kamar Ustadz 5, tempat wudlu 2 lokal dan kamar mandi/wc 17 lokal, Lab Bahasa 1, Lab Komputer 1. Setting tata ruang dan bangunan pesantren sangat mencerminkan keterbukaannya terhadap perubahan dan perkembangan nilai dan wacana yang terus melaju, dimana kompleks pesantren putra dan putri dibelah oleh jalan umum yang setiap saat baik pada siang ataupun malam hari masyarakat umum bebas melintas. Demikian juga pesantren putra, tidak ada pagar yang membatasi aktifitas dan komunikasi dengan pihak luar, hal ini menjadi bukti nyata dan niatan dari pesantren untuk terbuka dan berintegrasi dengan lingkungan sekitar.

Pola dan setting bangunan model tersebut punya nilai positif sekaligus negatif. Positif dalam arti tidak terjadi pengekangan dan pembatasan terhadap santri dalam beraktifitas sehari-hari. Santri dibiarkan untuk bebas menentukan sikap dan pilihannya asal bertanggung jawab dengan tugas dan statusnya. Pola tersebut juga menampik anggapan yang sering dialamatkan pada pesantren sebagai lembaga yang eksklusif dan tertutup. Dengan bentuk semacam ini santri lebih leluasa untuk memilih dan menentukan kreatifitasnya dengan tanpa melanggar atauran main yang ada. Setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi diluar dirinya santri akan cepat menyerap dan tanggap.

Namun di sisi yang lain, dengan model bangunan yang sangat terbuka tersebut, pesantren terutama pengurus mempunyai tugas dan tanggung jawab tambahan yang lebih berat berhubungan dengan kontrol terhadap santri dan perkembangan yang mereka alami. Karena dengan model bangunan terbuka seperti ini, kemungkinan santri untuk keluar dan lari dari berbagai aktifitas yang diadakan pesantren sangat besar. Tapi sekali lagi gagasan dan ide lebih besar nilai dan harganya dari sekedar persoalan teknis, pengurus lebih rela melakukan kerja tambahan dengan melakukan pengontrolan dan pengabsenan yang ketat setiap waktu terhadap para santri, terutama dalam aktifitas-aktifitas tertentu yang bersifat wajib.

Salah satu kebijakan yang ditempuh dalam rangka menertibkan santrinya untuk fokus dan eksis dalam wilayah tholabul ‘ilmi, pesantren mewajibkan setiap santri untuk sekolah formal klasikal yang ada di Desa kajen. Ada sekiat 5 madrasah di kajen yang menjadi tempat mereka menimba ilmu formal berjenjang diantaranya: Madarasah PRIMA, Madrasah Manabi’ul falah, Madrasah Salafiyah dan Madrasah Mathali’ul Falah. Meskipun pesantren memberi kebebasan dalam menentukan pilihannya namun hampir sebagian besar santri yang ada di pesantren Maslakul Huda memilih untuk menempuh pendidikan formalnya di Madrasah Mathali’ul Falah. Hal ini bukan suatu kebetulan semata namun banyak faktor yang mempengaruhinya, selain memang Maslakul Huda dan Mathali’ul Falah masih berada dalam satu atap kebijakan dibawah kepemimpinan KH.MA. Sahal Mahfudh.

Secara kurikulum dan aktifitas Maslakul Huda dan Mathali’ul Falah adalah sebuah sistem yang satu dan padu dari gagasan besar KH.MA sahal Mahfudh dalam sistem pendidikan pesantren yang beliau tawarkan. Aktifitas keduanya saling menunjang dan melengkapi bahkan secara kurikulum dan waktu pelaksanannya saling mensiasati dan menyesuaikan.

Karena sebagian besar santri Maslakul Huda adalah murid Madarasah Mathali’ul Falah kegiatan kependidiakan yang berlangsung di pesantren Maslakul Huda, selain dengan disesuaikan waktu sholat rawatib, juga disesuaikan dengan berbagai kegiatan kependidikan santri di Mathali’ul Falah.

Aktifitas santri dimulai dengan sholat subuh berjama’ah dilanjutkan belajar bersama dan mengkaji kitab kuning dengan materi ajaran tajwid dan baca Al-qur’an. setelah itu sekitar pukul 06.00 membersihkan halaman pesantren bagi yang piket dan yang lain antri mandi karena mereka harus menyesuaikan jadwal masuk Madrasah dengan menghitung waktu dan fasilitas yang ada, dari sekitar 250 santri hanya tersedia 9 kamar mandi. Disini santri secara langsung akan terlatih untuk membudayakan disiplin dan antri dalam melakukan setiap aktifitas yang mereka lakukan. Setelah itu mereka harus mengikuti kegiatan belajar di madrasah mulai pukul 07.30 sampai 12.30 dan sholat dhuhur mereka wajib berjama’ah di masjid jami’ Kajen, setelah itu mereka pulang dan makan siang.

Karena perkembangan yang terjadi di pesantren dengan berbagai aktifitas dan kesibukannya secara personal, banyak diantara santri sudah tidak lagi melakukan liwetan ( masak sendiri ), kalaupun ada jumlahnya sangat sedikit, sebagian besar mereka kost makan, dan mereka diberi kebebasan untuk memilih tempat kost. Pesantren meyediakan bagi yang berminat, selain itu ada juga yang kost makan di warung makan dan rumah masyarakat sekitar.

Hal ini merupakan salah satu bentuk kebijakan pesantren sebagai usaha membangun relasi dengan masyarakat, selain sebagai wahana komunikasi dalam rangka proses integrasi, hal ini juga bisa menjadi lahan peningkatan pemasukan ekonomi masyarakat sekitar dengan menjual jasa kepada para santri. Namun kadangkala disisi yang lain hal ini akan menimbulkan persoalan baru antara pesantren dan masyarakat ketika terjadi suatu kasus antara santri yang kost makan dengan induk semangnya atau masyarakat penyedia jasa, namun hal ini sebenarnya malah bisa menjadi wahana pelatihan santri dalam proses belajar bermasyarakat dan memecahkan masalah dengan pihak lain.

Karena mereka datang ke pesantren dengan niat untuk menimba ilmu, maka dalam rangka membatasi dan mengontrol ruang gerak serta komukasi yang berlebihan dengan masyarakat sekitar, mereka dilarang berhubungan dengan tanpa alasan yang jelas dan melebihi batas waktu yang telah ditentukan dengan istilah “nonggo”. Nonggo adalah suatu bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh santri ketika mereka berada di rumah penduduk sekitar pesantren bukan karena urusan tertentu yang diperkenankan oleh pesantren dan melebihi batas waktu yang telah ditentukan.

Setelah makan siang waktu yang ada digunakan santri untuk istirahat kecuali hari tertentu ketika ada kegiatan kerja bakti yang dilakukan dua kali dalam satu minggu atau bagi santri yang memiliki tanggungan hafalan biasanya mereka memanfaatkan waktu tersebut untuk menyepi ketempat-tempat tertentu disekitar pesantren atau ke masjid jami’ kajen dan juga makam mbah Mutamakkin untuk muroja’ah atau menambah jumlah hafalan yang harus mereka selesaikan, meskipun pada waktu Ashar mereka harus kembali ke pesantren untuk melakukan sholat berjama’ah. Selesai sholat ashar dilanjutkan dengan pengkajian kitab kuning di bidang Tasauf dan fiqih dengan jadwal sesuai tingkatan dan materi yang diajarkan.

Menjelang magrib mereka harus lagi disibukkan dan dibiasakan dengan budaya antri dan disiplin mengatur jadwal mandi biar tidak ketinggalan kegiatan selanjutnya yang menjadi kewajiban mereka. Setelah sholat magrib berjama’aah mengkaji kitab Nahwu dan Shorof, mereka makan malam setelah jama’ah sholat Isya’ dilanjutkan jam belajar ketika tidak ada kegiatan rutin seperti , pengkajian kitab, latihan khitobah, barzanji, kursus bahasa arab dan muroja’aah bagi yang memiliki tanggungan hafalan, ngaji Al-qur’an dan melakukan tugas-tugas yang dibebankan oleh madrasah.

Diluar berbagai kegiatan rutin yang diadakan di pesantren tersebut, santri masih harus melakukan kegiatan yang diadakan oleh madrasah masing-masing dimana mereka sekolah, diantara kegiatan yang dilakukan; Pramuka, Musyawaroh ( pengkajian kitab kuning ), kursus komputer, latihan sepak bola dan voly, latihan Drum Band dan terlibat dalam berbagai kepanitiaan hari besar.

Setiap santri yang akan melakukan aktifitas di luar pesantren diwajibkan izin kepada pengurus. Pada malam hari untuk menjaga dan mengkontrol keadaan dan lingkungan santri digilir untuk melakukan jaga malam yang sekaligus bertanggung jawab untuk membangunkan semua warga pesantren menjelang sholat subuh. Ada sesuatu yang unik dalam hitungan keterlambatan seorang santri ketika akan melakukan aktifitas sholat berjama’ah. Mereka harus sudah berada di dalam Mushola sebelum Adzan selesai dikumandangkan kalau sampai melewati batas tersebut mereka dianggap “kecimpung” dan akan mendapat sangsi.

Semua sangsi yang diberlakukan dalam pesantren maslakul Huda didasarkan pada niatan dan filosofi untuk mendidik sehingga sangsi yang diberlakukan tidak ada yang terlalu memberatkan meskipun dalam bentuk fisik, didalamnya mesti ada nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan, seperti; harus setor hafalan melebihi jumlah biasanya yang telah ditentukan, membersihkan WC/kamar mandi, menyapu halaman, jaga malam, pidato di depan santri lain ketika berjama’ah, jama’ah di shof paling depan dalam waktu yang ditentukan, dan lain sebagainya yang memiliki nilai-nilai disiplin dan penanaman tanggung jawab.

Ketika dalam tahap tertentu, seorang santri masih saja melakukan pelanggaran, biasanya sangsi akan ditingkatkan dalam bentuk yang lain, seperti melakukan hafalan setiap habis shubuh di dalam Ndalem ( rumah kiai ) atau disuruh buat surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi dengan meminta tanda tangan ustadz tertentu, dipindah untuk bertempat di ndalem dalam jangka waktu tertentu, kalau masih saja tidak ada perubahan orang tua mereka akan dipanggil atau dipindah ke pesantren lain dalam kurun waktu tertentu dalam rangka pembelajaran, sampai pada tahap dikeluarkan, itupun dilakukan ketika pengurus sudah benar-benar kewalahan dan tidak sanggup lagi memberikan bimbingan pada santri tersebut.

Berbagai tahapan pemberian sangsi diatas merupakan pilihan sistem yang ditempuh pesantren Maslakul Huda sebagai sebuah metode pendidikan disiplin dan penanaman tanggung jawab. Pada dasarnya santri adalah manusia merdeka yang memiliki hak untuk mendapat pendidikan oleh lembaga manapun termasuk pesantren dan pendidikan merupakan proses internalisasi dari nilai-nilai yang diajarkan melalui tranformasi dan transmisi keilmuan. Sehingga santri dalam tataran ini diasumsikan sebagai individu yang masih dalam tarap belajar dan sedang mencari sesuatu yang sesuai dan dibutuhkan, maka ketika ada santri yang nakal dan sering melakukan pelanggaran tidak lantas dikucilkan dan dikeluarkan namun sebaliknya mereka harus diberikan perhatian dan penanganan secara khusus dengan pemberian sangsi, karena mereka termasuk orang-orang khusus dalam hal ini sering melanggar. Bahkan dalam kasus tertentu seorang kiai ada yang memberikan perhatian lebih kepada santri yang nakal, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan tanggung jawab dan kasih sayang, anehnya santri yang nakal tersebut biasanya akan berubah dan mulai bertanggung jawab karena menjadi perhatian kiai, pendidikan model ini dalam bahasa modern sering disebut “pedagogi” yaitu dengan mengikutsertakan keterlibatan subyek sebagai obyek pendidikan baik secara intelektual maupun emosional.

PILIHAN TEXT BOOK

Pengkajian kitab yang dilakukan di pesantren Maslakul Huda, semua pelaksanaannya disesuaikan dengan sholat rawatib dan biasanya dilakukan setelah sholat berjama’ah, hal ini merupakan sebuah strategi tersendiri karena dengan demikian santri sebagai peserta akan terbiasa untuk berkumpul dan mudah dalam pengkondisiannya. Kitab yang dikaji sepenuhnya berangkat dari keinginan dan kebutuhan santri yang biasanya disesuaikan dengan pelajaran di madrasah untuk menunjangnya atau disesuaikan dengan kebutuhan santri didalam menjawab kebutuhan aktifitasnya sehari-hari, materi yang sering dingkat adalah fiqih dan tasauf. Kompromi yang paling akhir dalam menentukan kitab ditempuh dengan menyodorkan beberapa kitab kepada kiai atau ustadz dan beliaulah yang memilih dari beberapa kitab yang disodorkan.

Fiqih dan tasauf menjadi pilihan karena dalam kehidupan sehari-hari seorang santri tidak bisa lepas dari tata cara yang mesti disesuaikan dengan ajaran dan nilai-nilai yang Islami, dan fiqih merupakan fan keilmuan dalam Islam yang membahas berbagai tata cara dan perilaku yang mesti dilakukan seorang muslim sesuai dengan syari’at Islam. Sementara tasauf mengajarkan tentang ahlak dan etika baik itu berhubungan dengan Allah sebagai sang Khaliq, manusia sebagai patner hidup secara sosial maupun dengan alam dan diri sendiri.

Pengkajian kitab ini tidak hanya berhenti saja pada pemaknaan dan pemahaman, namun lebih dari itu seorang santri dituntut untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam pengawasan pengurus dan kiai serta nmasyarakat sekitar, aktifitas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dilakukan melalui pengkajian yang dikontrol oleh pihak luar tersebut pada tahap selanjutnya diharapkan akan menjadi kebiasaan dan tradisi serta kesadaran santri sehingga terinternalisasikan dalam diri dan menjadi karakter dalam melakukan setiap aktifitas baik personal maupun sosial.

0 comments:

Post a Comment